Skip to main content

Nelayan Pemuja Rembulan

"Belum tidur kamu, nak?" tangan bunda membelai kepala Alerta, putrinya yang tengah berbaring di ranjang namun belum memejamkan mata.

"Belum ngantuk, nda... Ceritain sesuatu dong buat bahan mimpi nanti." jawab Alerta

"Kamu mau cerita tentang apa? Dongeng tentang putri dan ksatria??" sang bunda masih membelai lembut kepala putrinya.

"Enggak ah.. Bosen.. Ceritanya gitu-gitu aja. Yang lain dong, nda.." pinta Alerta

"Yaudah. Bunda cerita soal nelayan aja, ya. Nelayan pemuja rembulan."

***

Dahulu kala, di sebuah pulau terpencil berpasir hiduplah seorang nelayan. Nelayan tersebut hidup seorang diri karena memang pulau yang dia tinggali terlalu kecil untuk dijadikan tempat tinggal bersama. Sesekali memang ada beberapa orang yang mampir karena tersesat ataupun kelelahan.Namun mereka tidak pernah tinggal terlalu lama karena memang tidak ada banyak hal yang bisa mereka dapat dari pulau terpencil berpasir tersebut. Mereka hanya melihat pasir dan mendapat kekosongan serta kesunyian.Maka tidak heran apabila si nelayan sering kali merasa kesepian karena orang-orang memang hanya sekadar mampir, namun tidak pernah berminat untuk menetap ataupun tinggal.
Si nelayan hanya memiliki sebuah perahu kayu beserta sebuah dayung untuk menemaninya melaut ketika malam. Iya. Nelayan tersebut lebih memilih waktu malam hari untuk melaut. Bukan karena cemas akan teriknya siang yang membakar kulit. Bukan juga karena khawatir burung-burung camar akan merebut hasil tangkapannya. Si nelayan melaut di waktu malam atas dasar rasa rindu pada rembulan. Bagi si nelayan, rembulan adalah satu-satunya bentuk dari keindahan. Hanya rembulan, bukan bintang . Karena bagi si nelayan, bintang yang bertebaran tak ubahnya seperti pasir pantai yang tersebar menghampar, berkilau cantik ditimpa mentari. Terlalu serupa, terlalu sama, terlalu banyak  sehingga menjadi tidak istimewa. Hanya bulan satu-satunya alasan si nelayan rela menahan angin malam nan jahanam. Ironisnya, si nelayan hanya mampu memuja rembulan yang terpantul di lautan. Ini bukan tanpa alasan. Si nelayan terlalu takut menengadah ke atas. Lagipula, seorang nelayan sudah seharusnya lebih memperhatikan lautan. Sesekali si nelayan mencelupkan jemarinya ke lautan dimana ada pantulan rembulan. Si nelayan tersenyum, merasa mampu menyentuh rembulan. Rembulan yang semu, sekadar pantulan. Rembulan yang dari hari ke hari tidak pernah sama bentuknya. Kadang cekug, cembung, atau bulat penuh. Rembulan yang terang benderang, meski tak segemerlap bintang-bintang. Walau demikian, si nelayan tetap menjadi pemuja rembulan sampai akhir hayatnya. Sampai sang nelayan memutuskan untuk menyelam, merengkuh pantulan rembulan pujaan tanpa berminat untuk kembali lagi ke daratan.
***

Alerta kecil masih belum tidur. Cerita sang bunda justru membuatnya penasaran.

"Nda.. Apa nelayannya enggak capek jadi pemuja rembulan? Kenapa nggak jadi astronot aja biar bisa ketemuan sama rembulan? " tanya Alerta polos.

"Justru si nelayan malah terlalu capek, lelah dengan ketidakpastian. Tapi mau bagaimana lagi. Matanya terlanjur silau oleh kilau pantulan rembulan. " jawab sang bunda.

"Terus endingnya gitu doang? Si nelayan pemuja rembulan tenggelam?" Alerta masih penasaran.

"Tadi katanya bosen sama dongeng yang biasa? Bunda nggak bilang si nelayan tenggelam kok. Bunda cuman bilang dia menyelam. Kalau menurut kamu, si nelayan kemana? Coba kamu bayangkan sambil memejamkan mata." kata bunda sembari membelai rambut Alerta. Alerta diam dan memejamkan matanya. Perlahan napasnya menjadi teratur. Alerta tertidur.

"Selamat malam Alerta." bisik bunda di telinga Alerta. Sementara kisah si nelayan pemuja rembulan tengah berjalan dalam mimpi Alerta. Hanya Alerta yang tahu jalan ceritanya.


Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. Tapi, toh

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

#ReformasiDikorupsi, #GejayanMemanggil, dan Sebagian Postingan yang Tidak Relevan

Gejayan Memanggil 2