Skip to main content

Menafsirkan Penafsiran Penafsir


Saat ini aku tengah berada di tempat yang pernah kita datangi tak hanya sekali. Duduk di sofa berbentuk menyerupai huruf 'u', di sudut smoking area. Cukup berisik lantaran tiap senin petang selalu ada sesi live music. Salah seorang temanku lantas mengeluarkan bungkusan kain, meletakannya di atas meja, dan membukanya. Isinya berupa satu set kartu yang hingga kini aku tak tahu berapa jumlah tepatnya. Masing-masing kartu memiliki gambar yang berbeda, dilengkapi dengan semacam caption singkat yang tak lebih dari satu kalimat.

"Aku pernah beberapa kali minta dibacakan kartu oleh seorang cenayang. Apakah kartu-kartu ini sama?" tanyaku sembari menyesap vanilla affogato yang terlalu manis. Aku nyaris tidak bisa merasakan unsur kopi di dalamnya.

"Tidak juga," katamu.

"Bolehkah aku minta dibacakan?"

"Kenapa tidak coba kamu baca sendiri?"

"Aku? Bisakah?" raguku.

"Tentu. Justru masing-masing orang bisa menafsirkan kartu-kartu yang mereka pilih dengan sudut pandang masing-masing," ujarmu yakin.

"Jadi... Kita tidak sekadar membaca, tapi menafsir?"

"Jelas. Bukankah jawaban yang kamu dapat tergantung dari apa yang kamu tanyakan?"

"Iya, aku tahu..."

"Bahkan penafsiran seseorang tidak bisa langsung kamu tafsirkan secara mentah, bukan? Lagipula, kamu tidak akan menceritakan persoalanmu terlalu detail kepada cenayang yang baru saja kamu kenal."

"Jadi, meskipun kartuku sudah dibacakan, maksudku ditafsirkan, aku tetap harus menafsirkannya kembali?" tanyaku mencari penegasan.

"Tentu... Kartu hanya medium. Yang paham hidupmu tentu kamu sendiri."


Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. Tapi, toh

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

#ReformasiDikorupsi, #GejayanMemanggil, dan Sebagian Postingan yang Tidak Relevan

Gejayan Memanggil 2