Skip to main content

Mencicil Masa Depan



Besok adalah kali pertama bagiku untuk menjajakan rumah. Yang kujajakan bukanlah sembarang rumah, melainkan rumah masa depan. Tak jauh berbeda dengan rumah-rumah mewah yang ditawarkan di televisi oleh presenter acara gosip, rumah yang kutawarkan sama-sama belum mempunyai bentuk fisik. Yang kami jual adalah rencana, berikut suasana-suasana buatan yang tercakup di dalamnya. Kami menawarkan rumah masa depan.

Sejujurnya aku sedikit gugup mengenai hari pertamaku menjajakan rumah. Jadi, aku memutuskan untuk melakukan simulasi dengan isteriku. Memperkirakan pertanyaan-pertanyaan yang sekiranya akan muncul dari calon pembeli. Paling tidak agar aku tak tampak dungu di hadapan calon pembeli esok hari.

"Apa saja keunggulan rumah yang bapak tawarkan?"

"Rumah ini berada di kawasan yang tenang dan asri. lengkap dengan rimbunan pohon-pohon peneduh. Lokasinya juga terbilang mudah dijangkau dengan kendaraan pribadi. Selain itu, ada juga fasilitas umum berupa panggung terbuka yang dapat dimanfaatkan tanpa biaya tambahan," cerocosku, berupaya terdengar yakin.

"Bisa dicicil berapa lama,pak?"

"Itu bisa disesuaikan dengan kemampuan, bu."

"Bagaimana kalau saya tidak mampu melunasinya?"

Aku tidak tahu lagi harus menjawab apa. Sepertinya aku butuh simulasi kedua.

Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. Tapi, toh

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

#ReformasiDikorupsi, #GejayanMemanggil, dan Sebagian Postingan yang Tidak Relevan

Gejayan Memanggil 2