Skip to main content

Semesta


Sabtu petang yang gerah, sepasang kekasih tengah terlibat percakapan di sebuah rumah kontrakan.

"Sayang..."

"Iya?"

"Kamu sudah memikirkan nama anak kita nanti?"

"Tentu sudah. Tak peduli anak kita laki-laki atau perempuan, aku akan memberikan nama dengan unsur semesta kepadanya. Nama adalah doa, bukan?"

"Kenapa harus semesta? Kok terdengar seperti kofisyop yang katanya buka 24 jam itu? Apakah kamu ingin anak ini hobi begadang seperti kita berdua?"

"Soalnya, aku punya firasat bahwa anak kita bukanlah anak biasa. Orang-orang tidak akan berani macam-macam dengannya. Siapa pula manusia yang berani mencari masalah dengan semesta?"

"Apakah kamu tidak khawatir jika anak kita tidak punya teman nantinya? Sepertinya beban yang dia tanggung akan terasa berat dengan nama 'semesta' yang melekat."

"Tidak. Semesta tidak akan pernah lelah dan semesta tidak akan pernah salah. Kalaupun orang-orang tidak sanggup menerima semesta, berarti mereka adalah orang-orang lemah."


Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. Tapi, toh

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

#ReformasiDikorupsi, #GejayanMemanggil, dan Sebagian Postingan yang Tidak Relevan

Gejayan Memanggil 2