Skip to main content

Menyadari Segmentasi


Sebagai mahasisa komunikesyen, terkadang saya merasa hina karena merasa belum punya pencapaian apa-apa di bidang media. Punya blog pun isinya unfaedah begini: random, ambyar, acakadut, dan jarang update . Kadang kala pengen riviu-riviu cantique macam temen saya ini. Tapi, apa daya. Saya mageran buat ngurusin blog sendiri. Kadang sempet iseng ikutan ngirim tulisan ke mana kek, gitu. Tapi, yha namanya juga lyfe. Kadang memang saya ngerjainnya nggak total dan baru kirim mepet dateline, atau malah kelewat sembarangan bikin tulisan yang mlipir dari tema. Alhasil, saya nggak kecewa-kecewa amat ketika memang tulisan saya nggak tembus. Lha, wong jarang ngirim~



Bicara soal tulisan yang nggak tembus dimuat, sebagai  mahasisa yang pernah kesasar ikutan UKM yurnalistique, sesekali saya pernah dengar ada dekadek yang sambat akibat tulisannya ditolak alias dianggap nggak layak muat lantaran kurang "receh". Diam-diam saya menghujat dalam hati ,"Lha rumangsamu kowe nulis nggo sopo? Paham segmentesyen orasih? Hih~~" . Ternyata saya lupa kalo doi bukan anak komunikesyen. Harusnya saya maklum ajasi, Heu~






Kemudian seketika saya merasa tidak gagal-gagal amat sebagai anak konsentrasi media-yurnalisme. Meski sempat berkeinginan jadi yurnalis beneran dengan segala rupa idealismenya, saya cukup sadar bahwasanya semua media memang punya segmentasi tersendiri. Segmentasi yang bisa jadi berdinamika mengikuti kahanan dan perkembangan zaman. Maka, ketika kamu sambat kalau tulisanmu nggak dimuat, udah beneran paham soal segmentesyen pembaca belum? Soalnya memang segmentasi media ada macem-macem. Ada yang menyasar insan-insan berjiwa rapuh nan mudah tersentuh. Ada juga yang memang ditujukan buat orang-orang progresif dan revolusiyoner. Kalau kamu mutung tulisanmu yang maha-Nganu itu nggak dimuat, bikin media sendiri, jaa~~ Ehehehe~

Lagipula, kita tidak pernah tahu apa nasib waktu. Tidak ada salahnya belajar menyesuaikan tulisan dengan kebutuhan. Apalagi kalau mengandalkan tulisan sebagai sumber pendapatan. Ini bukan berarti saya menghasut orang biar rajin nulis di media yang partisan, lho yha.

Akhir kata, saya menemukan alasan kenapa blog saya ini nggak banyak kemajuan. Menulis di blog adalah pelarian manakala saya jenuh mengarang hal-hal berbau akademik alias tugas kuliyah maupun menulis hasil liputan dan fafifu lainnya. Kadang suka riwil juga pengen benerin tampilan visual atau kualitas gambar. Tapi kalau mau ngerombak kok sayang, yha. Meski random, ambyar, dan unfaedah, saya bisa melihat perkembangan isi kepala saya yang kadangkala cukup normatif, dan sesekali agak liar. Kalau mau nulis yang agak bener, tetep usaha iseng-iseng kirim tulisan ke mana gitu, bisa kalik~ Media beneran biasanya tampilannya juga lebih bener.


Ps: Nggak usah geregetan pengen ngedit tulisan  ini. Saya juga suka pengen menyunting tulisan sendiri, soalnya :(

Btw, kalau  selo, turah kuota, dan mau baca tulisan saya, sebagian sudah saya pindah ke sini. Tata letaknya begitu doang, emang. Tapi paling tidak isinya agak jelas: cerita fiksi semua. Hehe~
Adios~~


Comments

Popular posts from this blog

Pertanyaan-pertanyaan Tentang (Kedai) Kopi Yang Coba Saya Jawab Sendiri

Smile coffee and tea Beberapa juta tahun cahaya yang lalu, saya sempat menulis mengenai enam pertimbangan dalam memilih tempat untuk nongkrong . Belakangan saya sadar, sebagian besar tongkrongan saya adalah kedai kopi, atau paling tidak menyediakan kopi dalam daftar menunya. Saya sadar, belakangan kedai kopi di Jogja kian menjamur seperti tugas akhir yang saya biarkan menganggur ketika menulis postingan ini. Sebelumnya, saya ingin meluruskan bahwa saya bukanlah seorang coffee snob  , pendekar, atau apapun itu yang paham fafifu soal perkopian. Hamba sekadar mahasiswa yang butuh ruang yang nyaman untuk bersosialisasi maupun berindividualisasi. Sebagai seorang yang bukan ekstrovert dan nggak introvert-introvert amat, kedai kopi adalah tempat yang sesuai bagi saya untuk sekadar mojok dewean, menulis sesuatu, atau iseng baca webtoon dan yutuban.  Sejujurnya saya merasa postingan ini agak tolol. Kalau mau, bisa saja saya wawancara orang yang betul-betul paham soal kopi. Tapi, toh

Pertemuan dan Perjumpaan

Entah kenapa aku merasakan perbedaan antara pertemuan dan perjumpaan.  Rasaku bilang: pertemuan menyiratkan sebuah perjanjian, kesepakatan. Pertemuan sarat akan unsur kesengajaan. Bentuk-bentuk intimasi serta kepentingan turut terlibat, erat dan mengikat. Rasaku berucap: perjumpaan merupakan pertemuan yang tak direncanakan. Perjumpaan lebih mengatasnamakan takdir, ketidak sengajaan,  Tolong, jangan mintan penjelasan kenapa rasaku tak bisa menyamakan antara pertemuan dan perjumpaan. Aku bukan anak linguistik, atau manusia yang sehari-hari bergelut dengan ketatabahasaan. Rasaku memiliki logika dan nalarnya sendiri.  Jangan pula tanyakan tentang perpisahan, karena kali ini aku sekadar ingin membahas perjumpaan dan pertemuan. Jalan Kaliurang, 21 Maret 2016 Mengutuki hujan yang menderas di luaran. * edited soon, perhaps.

#ReformasiDikorupsi, #GejayanMemanggil, dan Sebagian Postingan yang Tidak Relevan

Gejayan Memanggil 2